Kadangkala sejarah tak adil kepada mereka yang terus berjuang tanpa pamrih pada negaranya. Bahkan sebagian mereka dibunuh dan batu nisan mereka tak pernah ditemukan.
Kita hanya mampu menggali kembali kebenaran-kebenaran masa lalu dengan literatur yang sangat yang sangat terbatas. Beginilah cara sebuah negara menghargai para pejuang mereka....
Satu kata fight against capitalism....
SOE HOK GIE
Soe Hok Gie. Sosoknya sangat terkenal karena tulisannya yang sangat kritis terhadap pemerintah orde lama dan orde baru meskipun ia meninggal dalam usia muda namanya sangat dikenal dikalangan para aktivis karena tulisan-tulisan dan pemikirannya yang sangat fenomenal. Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit seorang novelis dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.
Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.
Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
taken from : http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html
MUNIR
Munir,SH.
1965 - 2004
Pengalaman
Organisasi
Selama
mahasiswa, Munir muda dan cerdas bergabung dan meminpin sejumlah organisasi;
Keseriuasan
dalam bidang hukum dan persoalan sosial disekitarnya diwujudkan dalam bentuk
pembelaan-pembelaan terhadap sejumlah kasus, mendirikan/bergabung dengan
berbagai organisasi, bahkan juga membantu pemerintah dalam tim investigasi
dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang ;
Karir
Penghargaan
yang Pernah Diterima semasa Hidup
Atas
pengabdian yang dibarengi dengan keteladanan, kejujuran dan konsistensinya, Munir
mendapatkan beberapa pengakuan berupa penghargaan dari pihak-pihak di dalam
negeri maupun masyarakat Internasional, seperti;
Kasus
yang pernah ditangani
Pada
tahun 2003, Munir yang masih diharuskan istirahat oleh Dokter karena sakit
Types, bersikeras ikut dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro
demokrasi mendatangi DPR paska penyerangan dan kekerasan yang terjadi di
Kantor Tempo.
Pada
tahun 2004, Munir bergabung dengan tim advokasi SMPN 56 yang digusur oleh
Pemda DKI.
Munir
juga aktif menulis diberbagai media cetak dan elektronik berkaitan
dengantema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan Kepolisian, (Transisi)
Politik dan perburuhan.
|
|||||||||
Taken
from: www.kontras.org
Refensi lanjut di
TAN MALAKA
|
Tan Malaka lahir di Pandan Gading, Sumatra Barat tahun 1897. Pendidikan yang ditempuh Sekolah Dasar di Suluki, Sekolah Guru di Bukit Tinggi dan Sekolah Guru Haarlem Belanda.
Ketika di Sekolah Guru Haarlem Belanda, ia menonjol dalam ilmu pasti sehingga gurunya memberi pujian. Selanjutnya Tan Malaka memberi perhatian pada soal-soal kemiliteran.
Bersama dengan pecahnya Revolusi Rusia (1917), Tan Malaka semakin berminat terhadap buah pikiran Marx dan Engels, sehingga sering mengikuti berbagai pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam. Wow, tidak aneh kalau di tanah air di kemudian hari menjadi tokoh kiri!
Tan Malaka juga ikut dalam diskusi terbuka antara Sneevliet dan Suwardi tentang "Kecenderungan Nasionalis dan Sosialis dalam pergerakan Nasional Hindia" di Amsterdam-1919.
Setelah kembali ke Indonesia (1919) Tan Malaka tetap mengadakan hubungan surat menyurat dengan rekan-rekannya di Belanda. Sejak itulah ia mulai menulis banyak artikel di surat kabar berbahasa Belanda kaum Bolshevik Het Vrije Wood (kata yang bebas) yang terbit di Semarang.
Tan Malaka juga menulis brosur berjudul "Sovyet atau Parlemen". Pandangan tentang kedua bentuk pemerintahan tersebut dimuat di majalah Soeara Rakjat. Ketika ISDV (Perserikatan Demokrasi Sosial Hindia) ingin mengganti nama (1920), Tan Malaka menugaskan nama "Partai Nasional Revolusioner Indonesia" tetap ditolak oleh Semaun yang tetap menginginkan nama "Persatuan Komunis".
Ketika Tan Malaka menjadi ketua PKI setelah kepergian Semaun ke Rusia (1921), ia mengembangkan cabang PKI di daerah dan mengecam pemerintah kolonial-kolonial yang menindas para buruh.
Tahun 1922 Tan Malaka ditangkap Pemerintah Kolonial Belanda karena terlibat aksi pemogokan buruh perkebunan. Kemudian ia minta untuk mengasingkan diri ke Belanda, tidak lama setelah itu ke Moskwa.
Tahun 1925 ketik berada di China, Tan Malaka menulis buku kecil berjudul Naar de "Republic Indonesia" yang dicetak di Kanton. Melalui bukunya itu, Tan malaka mengajak kaum cendekiawan Indonesia untuk berjuang meraih kemerdekaan Indonesia dan peka terhadap hati nurani rakyat.
Tan Malaka juga melontarkan pemikirannya mengenai program politik, ekonomi dan sosial, bahkan kemiliteran yang diperlukan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.
Antara tahun 1942-1943, Tan Malaka menulis buku "Madilog" (Materialisme, Dialektika, Logika) yang menyuguhkan cara berpikir baru untuk memerangi cara berpikir lama (dipengaruhi tahayul atau mistik yang menyebabkan orang menyerah secara total kepada alam).
Pemikiran dialektiknya terlihat dari sikapnya yang mempertentangan golongan tua (Soekarno-Hatta) dengan golongan muda (pemuda pejuang). Ia sinis terhadap golongan tua yang mau bekerja dengan penjajah sekaligus menaruh harapan kepada golongan muda sebagai ujung tombak perjuangan.
Ketika di Sekolah Guru Haarlem Belanda, ia menonjol dalam ilmu pasti sehingga gurunya memberi pujian. Selanjutnya Tan Malaka memberi perhatian pada soal-soal kemiliteran.
Bersama dengan pecahnya Revolusi Rusia (1917), Tan Malaka semakin berminat terhadap buah pikiran Marx dan Engels, sehingga sering mengikuti berbagai pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam. Wow, tidak aneh kalau di tanah air di kemudian hari menjadi tokoh kiri!
Tan Malaka juga ikut dalam diskusi terbuka antara Sneevliet dan Suwardi tentang "Kecenderungan Nasionalis dan Sosialis dalam pergerakan Nasional Hindia" di Amsterdam-1919.
Setelah kembali ke Indonesia (1919) Tan Malaka tetap mengadakan hubungan surat menyurat dengan rekan-rekannya di Belanda. Sejak itulah ia mulai menulis banyak artikel di surat kabar berbahasa Belanda kaum Bolshevik Het Vrije Wood (kata yang bebas) yang terbit di Semarang.
Tan Malaka juga menulis brosur berjudul "Sovyet atau Parlemen". Pandangan tentang kedua bentuk pemerintahan tersebut dimuat di majalah Soeara Rakjat. Ketika ISDV (Perserikatan Demokrasi Sosial Hindia) ingin mengganti nama (1920), Tan Malaka menugaskan nama "Partai Nasional Revolusioner Indonesia" tetap ditolak oleh Semaun yang tetap menginginkan nama "Persatuan Komunis".
Ketika Tan Malaka menjadi ketua PKI setelah kepergian Semaun ke Rusia (1921), ia mengembangkan cabang PKI di daerah dan mengecam pemerintah kolonial-kolonial yang menindas para buruh.
Tahun 1922 Tan Malaka ditangkap Pemerintah Kolonial Belanda karena terlibat aksi pemogokan buruh perkebunan. Kemudian ia minta untuk mengasingkan diri ke Belanda, tidak lama setelah itu ke Moskwa.
Tahun 1925 ketik berada di China, Tan Malaka menulis buku kecil berjudul Naar de "Republic Indonesia" yang dicetak di Kanton. Melalui bukunya itu, Tan malaka mengajak kaum cendekiawan Indonesia untuk berjuang meraih kemerdekaan Indonesia dan peka terhadap hati nurani rakyat.
Tan Malaka juga melontarkan pemikirannya mengenai program politik, ekonomi dan sosial, bahkan kemiliteran yang diperlukan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.
Antara tahun 1942-1943, Tan Malaka menulis buku "Madilog" (Materialisme, Dialektika, Logika) yang menyuguhkan cara berpikir baru untuk memerangi cara berpikir lama (dipengaruhi tahayul atau mistik yang menyebabkan orang menyerah secara total kepada alam).
Pemikiran dialektiknya terlihat dari sikapnya yang mempertentangan golongan tua (Soekarno-Hatta) dengan golongan muda (pemuda pejuang). Ia sinis terhadap golongan tua yang mau bekerja dengan penjajah sekaligus menaruh harapan kepada golongan muda sebagai ujung tombak perjuangan.
Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap dengan tuduhan menggerakkan rakyat menentang persetujuan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia. Tidak lama kemudian ia juga dituduh terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946 yakni peristiwa kudeta terhadap Pemerintahan, namun pengadian menyatakan Tan Malaka tidak terlibat atau tidak bersalah dan oleh karena itu kemudian ia dibebaskan.
Pada saat Tan Malaka mendirikan Partai Murba, saat itu pula ia ikut bergerilya dan pada Februari 1949 ia tewas ditembak tentara RI dan hingga saat ini tak pernah ditemukan jenazahnya.
Tahun 1963, Tan Malaka dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Memang orang bisa mempunyai pandangan atau cara yang berbeda dalam menyikapi sesuatu. Ya, hidup memang penuh resiko! Resiko sebuah sikap dalam kondisi tertentu, kerap membuat nyawa menjadi taruhannya !!!
Pada saat Tan Malaka mendirikan Partai Murba, saat itu pula ia ikut bergerilya dan pada Februari 1949 ia tewas ditembak tentara RI dan hingga saat ini tak pernah ditemukan jenazahnya.
Tahun 1963, Tan Malaka dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Memang orang bisa mempunyai pandangan atau cara yang berbeda dalam menyikapi sesuatu. Ya, hidup memang penuh resiko! Resiko sebuah sikap dalam kondisi tertentu, kerap membuat nyawa menjadi taruhannya !!!
Taken from : http://edhobachdim.blogspot.com/2012/03/biografi-singkat-tan-malaka.html
H.M. LUKMAN
MH Lukman
Muhammad Hatta Lukman, orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. MH Lukman mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.
Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.
Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai 'jalan mati'. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati.
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.
Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.
Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai 'jalan mati'. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati.
sumber : www.merdeka.com