KITA HARUS BERANI BERKATA : REFORMASI TELAH MATI MUDA
Jika reformasi tidak pernah terjadi
mungkin saja masyarakat Indonesia tidak akan banyak mengenal sosok Amien Rais,
Megawati ataupun Gusdur. Mungkin tak ada pula yang bisa menebak-nebak, jika
Amien Rais ditahun 2014 menjadi pihak yang kontra terhadap kemajuan demokrasi.
Begitupun opini beberapa aktivis rakyat yang mulai mengamini rencana kenaikan
BBM diawal pemerintahan Jokowi dengan seribu satu pembenaran yang rasanya basi.
Begitu banyaknya ragam pendapat
tentang kualitas demokrasi saat ini namun tidak banyak yang kembali mengulas hubungan
atau keterkaitan perjalanan reformasi dengan kondisi kebangsaan saat ini.
Seolah-olah kita sudah lupa bahwa apa yang terjadi saat ini banyak di nakhodai
oleh mereka yang menyebut dirinya “penggerak reformasi”.
Tak adil jika menyalahkan reformasi
sebab reformasi hanyalah sebuah peristiwa yang tentunya dikendalikan oleh ide
dan strategi aktivis 98. Menariknya, jika ditelusuri secara mendalam akan
ditemui suatu fakta bahwa pasca reformasi banyak tokoh-tokoh yang muncul
kepermukaan yang kemudian “mengambilalih”
roda pemerintahan dari rezim Suharto. Entah tokoh-tokoh tersebut terlibat
secara mendalam ataukah sekedar menyatakan keterlibatannya pasca reformasi. Di
era pemerintahan Gusdur hingga era Jokowi sekarang ini, aktivis 98 laku keras dalam
bursa percaturan politik Indonesia. Beragam jabatan mulai dari eksekutif,
legislatif bahkan yudikatif dihuni oleh mereka yang berlabel aktivis 98.
16 tahun pasca reformasi, slogan
anti KKN seperti sayup-sayup tak terdengar lagi. Bahkan ironisnya sebagian dari
aktivis ini telah menghuni jeruji besi apalagi kalau bukan karena KKN.
Tulisan ini tidak bermaksud meng-generalisir
ataupun menyederhanakan tokoh dan peristiwa di tahun 1998. Namun setidaknya
memberikan kritikan kepada mereka yang mengaku aktivis rakyat tapi kemudian
tersandera oleh kepentingan politik praktis dan hasrat berkuasa.
Di tahun 2014, Jika diamati melalui media
massa terdapat sebuah hipotesa bahwa sebagian besar aktivis 98 ikut larut dalam
pesta kemenangan Jokowi. Seolah-olah kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat
Indonesia dan kekalahan kubu Prabowo adalah kekalahan rezim otoriterian.
Mungkin kita sudah lupa bahwa baik Jokowi maupun Prabowo adalah produk
dari partai politik. Jangan pernah
melupakan bahwa PDI-P begitupun JK dan Golkar setidaknya pernah menjadi
penguasa negeri ini dan sudah tentu kita dapat melakukan penilaian atas kinerja
serta flat form kenegaraan mereka.
Di tengah hingar bingar menolak
atau mendukung Pemilukada langsung, hal yang paling ironis adalah ketika
menyaksikan punggawa-punggawa aktivis rakyat ramai-ramai menjajakan diri untuk
jabatan-jabatan tertentu. Klaim dukungan/kontribusi ke pemerintahan terpilih
atas nama rakyat/relawan. Ribuan bahkan ratusan ribu orang berjejal memberikan
saran komposisi kabinet yang baru ini seolah-olah dan supaya terlihat lebih
merakyat dan demokratis.
Kita semua tentu paham, pasca
reformasi puluhan lembaga-lembaga adhoc telah dibentuk. Dan komposisi pada
lembaga-lembaga ini mayoritas di huni oleh mereka yang berlabel aktivis. Tapi
pada faktanya (diluar KPK) tidak pernah melihat ada kemajuan maupun otokritik
terhadap kinerja mereka pada lembaga-lembaga tersebut. Masalah klasik yang
selalu muncul adalah pembatasan kewenangan dan keterbatasan sumber daya yang
tersedia.
Jika masuknya para aktivis ke dalam
sistem pemerintahan bertujuan merubah sistem dari dalam maka semestinya para
aktivis bersatu membentuk partai politik tersendiri agar benar-benar independen
dan tidak tanggung dalam mengelola kebijakan Negara bukannya mendompleng pada kekuatan politik yang
lebih mapan dan kuat.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa bangga dan salut kepada mereka aktivis rakyat yang
sesungguhnya. Mereka yang
tidak pernah menjual rakyat demi jabatan, mereka yang tak dikenal oleh sejarah,
mereka yang terus berjuang tanpa pamrih dari kaum borjuasi, mereka yang berani
memutuskan dan menyatakan bahwa pembodohan rakyat belumlah berakhir dan dengan
kepala tegak mereka berkata reformasi ini telah mati muda.