Menyoal pungli
sekolah download :
Utang di negeri
bencana download :
Menafsir Pilpres
2014 download :
Dosa-dosa politisi kita download :
Mimpi indah aktivis 98 download :
Catatan akhir ke Masyarakat adat Baduy download:
NASIONALISME SETENGAH HATI
Bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai macam suku-suku bangsa yang berdasar atas pelbagai
karakter budaya yang ada didalamnya. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, kita
sering mendengar adanya kerajaan-kerajaan besar yang hampir menguasai seluruh
wilayah nusantara, seperti yang tercatat dalam sejarah kerajaan majapahit dan
sriwijaya yang konon menjadi kerajaan terkuat pada masanya.
Tahun 1945, sebagai tahun kemerdekaan Indonesia dengan
presiden pertamanya Ir. Soekarno menyatakan tekadnya untuk menyatukan seluruh
suku-suku yang ada di Negara ini lewat konsep nasionalisnya, untuk mewujudkan
keinginan tersebut, maka, seluruh kerajaan, suku bangsa yang dahulunya pernah
ada diikat dalam satu bingkai pertalian persaudaraan, satu tanah air, satu
bangsa dan satu bahasa. Nasionalisme yang dibangun atas keberagaman suku bangsa
dari beribu-ribu bahasa, adat istiadat nyatanya sampai saat ini masih
menyisahkan tanda tanya besar atas riak-riak yang kerap timbul dari bahasa
penyatuan keberagaman tersebut. Disintegrasi bangsa yang terus mewarnai
perjalanan negara ini adalah indikasi yang kuat bahwasannya ada yang merasa
dirugikan dalam proses integrasi bangsa.
Gerakan aceh merdeka (GAM), Operasi Papua Merdeka (OPM),
Sulawesi Merdeka, Riau Merdeka, telah menunjukkan kepada kita semua paradigma
dari penyeragaman yang tidak dapat diterima oleh semua kalangan, entah itu
karena tersangkut paut permasalahan ekonomi, ideologi, ketidakpuasan terhadap
pemerintah pusat ataukah karena ada unsur politik lain yang mempengaruhi. Sejak
Indonesia
merdeka, tercatat dalam sejarah bangsa, perjalanan kenegaraan kita kerap di
warnai adanya upaya untuk melakukan proses disintegrasi, keinginan untuk
berpisah dan meminta ketidakterikatan suatu wilayah pada pusat pemerintahan
baik lewat mekanisme desentralisasi, federasi atau dan lain-lain. Contoh
konkrit yang dapat kita lihat adalah perjuangan beberapa tokoh-tokoh daerah
seperti Kahar Muzakkar, Daud Beurueh, Kartosuwiryo dan beberapa tokoh lainnya
dalam memperjuangkan DI/TII, pemberontakan
PKI 1965, sampai pada perjuangan-perjuangan pembebasan selanjutnya
seperti pembebasan Timor-Timur yang kini telah lepas dari pangkuan ibu
pertiwi.
Keseragaman
bangsa yang diagung-agungkan karena melihat histori bangsa ini dengan landasan
atas kerajaan-kerjaan nusantara, juga menimbulkan keraguan yang berkepanjangan,
karena ternyata menurut beberapa ahli sejarah, kerajaan Majapahit misalkan,
tidak pernah menguasai kerajaan padjajaran apalagi kerajaan Bugis Makassar,
kerajaan Sriwijaya tidak pernah menundukkan kerajaaan Aceh, padahal kerajaan
Sriwijaya, konon pernah mengusai lebih dari separuh nusantara ini, dan landasan
inilah yang mengilhami lahirnya konsep penyatuan dalam kerangkan pikir
nasionalisme.
Nyatanya penderitaan satu
suku dianggap keadilan bagi suku lainnya, air mata satu suku bangsa adalah tawa
bangsa lain, dimana orang-orang pahlawan oleh satu golongan dianggap
pengkhianat golongan lain.
Disintegrasi yang dikumandangkan oleh berbagai macam suku
bangsa dinegara ini kerap dijawab pemerintah dengan operasi militernya, kita
pernah diingatkan oleh daerah operasi militer (DOM) yang diterapkan oleh
pemerintah dalam rangka memulihkan stabilitas bangsa Aceh, isu pelanggaran Hak
Asasi Manusia pra penandatanganan damai oleh pihak GAM dan pemerintah RI sering
kita dengarkan, baik melalui media maupun oleh sebuah kesaksian, di Aceh kaum
hawalah yang paling banyak menderita karena DOM ini, pemerkosaan, perampokan,
pembunuhan sampai pada penyiksaan mental dan fisik telah terbukti dilakukan
oleh oknum TNI/Polri dalam berbagai operasi ditanah rencong. Namun satu hal
yang menarik dari perseteruan internal di Negara ini, banyaknya proses
disintegrasi yang terjadi tak satupun dari kejadian ini dianggap perang saudara
oleh pemerintah kita, padahal ribuan nyawa, tangisan yang mewarnai
konflik-konflik dinegara kita sudah menegaskan, bahwa kesemua yang terbunuh
adalah saudara kita, bukan siapa-siapa, bangsa Aceh, bangsa Papua adalah bangsa
Indonesia juga, akan tetapi ketika mereka meneriakkan kata pisah dari NKRI,
maka gerakan tersebut di namakan gerakan pengacau keamanan, gerombolan dan
nama-nama lainnya yang mempunyai kandungan makna yang sama pula.
Dari semua proses disintegrasi diatas tidakkah cukup bagi
kita semua untuk melakukan penilaian, bahwa Negara ini mesti mengoreksi diri,
karena nasionalisme yang diagung-agungkan ternyata tidak dapat diterima oleh
beberapa suku bangsa. Mungkin letak kesalahan persatuan ini, tidak terletak
pada makna dari nasionalisme itu sendiri, akan tetapi seperti ungkapan John
Stuart Mill yang menyatakan suatu kebangsaan yang tidak merasakan kebanggaan
yang tidak merasakan kesenangan dan kesedihan bersama, tegasnya suatu bangsa
yang tidak mempunyai Collective pride and
humiliation, pleasure and regret. Lebih lanjut lagi Hasan Muhammad Tiro,
pemimpin tertinggi GAM yang mengutip perkataan Edmund Burke menyatakan; belum pernah rakyat dari suatu Negara
memberontak oleh karena pemerintahannya lemah dan kocar-kacir. Bagi rakyat,
yang telah menggerakkan mereka memberontak bukanlah keinginan buat menyerang,
tetapi kehilangan kesabaran buat menderita.
Dan mungkin saja, pikiran-pikiran Edmund Burke juga
menjadi dasar beberapa pemberontakan di negara ini, karena tak dapat
dipungkiri, beberapa pemberontakan dinegara ini, seperti OPM tercatat melakukan
pemberontakan karena merasa adanya ketidakadilan dan penderitaan terhadap
bangsa Papua, sebagai bangsa yang mempunyai kekayaan SDA yang tidak ternilai
harganya, akan tetapi paling terbelakang dibidang pembangunan infrastruktur dan
juga kulitas serta kuantitas SDM. Yang lebih memprihatinkan lagi, menurut hemat
penulis adalah disatu pihak masyarakat Papua menganggap Theis adalah pahlawan
mereka, akan tetapi di lain pihak Theis adalah sosok pemberontak, nyatalah
perbedaan interpretasi masyarakat dalam menilai sesuatu, satu sisi kematian
seseorang dianggap keberhasilan namun suku bangsa lain menganggap kematian
tersebut adalah penderitaan bagi sukunya, inikah yang dimaksud nasionalisme?.
Yang tak kalah pentingnya dalam proses distintegrasi
bangsa ini selain dari permasalahan ketidakadilan ekonomi pusat kedaerah,
adalah permasalahan ideologi atau falsafah Negara, jika kita flashback kebelakang, kita menjumpai
bagaimana cita-cita pimpinan DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar sampai dengan
pemberontakan GAM Hasan Tiro yang menginginkan falsafah pancasila diganti
dengan Islam, alasan ini didasari pada dominasi jumlah ummat Islam di Negara
ini dan juga akar budaya masyarakat, katanya, seharusnya penyeragaman ideologi
Negara didasarkan pada budaya masyarakat
yang telah lama hidup dan menjadi panutan konvesional masyarakat secara umum,
dalam hal ini Islam. Namun ternyata pemerintah dari zaman Orde Lama sampai
sekarang mengakumulasi kebenekaragaman bangsa ini dalam bingkai ideologi pancasila
yang dipercayai sebagai falsafah pemersatu dari pluralisme ideologi di Negara
kita.
Sejarah juga mencatat dari awal perjuangan merebut
kemerdekaan sampai dengan masa mempertahankan kemerdekaan, pluralisme ideologi
dinegara ini sedikit banyaknya telah ikut andil dalam mewarnai perajalanan
bangsa ini, satu contoh yang nyata bagaimana ideologi Sosialis sebagai
manifesto komunisme dengan susah payahnya memperjuangkan cita-citanya untuk
merombak sistem kenegaraan kita, ideologi Islam, dan begitupun arus golongan
nasionalis mati-matian dalam memperjuangkan cita-citanya, sehingga sadar atau
tidak sadar Negara ini terkotak-kotak kedalam arus perjuangan ideologi-ideologi
tersebut, sehingga dalam sebuah kabinet pemerintahan yang sah pasti ada
kelompok oposisi yang terus mengancam tiap saat, maka terjadilah perang wacana
dan ideologi dalam struktur pemerintahan negara ini, dan entah kapan akhir dari
perang dingin tersebut.
Banyak orang yang percaya, nasionalisme yang telah
dipertahankan sejak berpuluh-puluh tahun silam merupakan sebuah warisan
pemerintahan yang tidak mempunyai konsep yang jelas dalam realisasinya,
keyakinanan beberapa pemimpin pemberontakan di Negara kita yang menilai bahwa
kita tidak membutuhkan nasionalisme yang setengah hati akan tetapi yang kita
butuhkan adalah sikap patriotisme, dan nasionalisme yang tengah berjalan di
Negara ini hanya untuk mengesahkan kekuasaan pemerintah pusat, sangatlah
beralasan, jika ternyata pemerintahan memang terbukti hanya menjalankan politik
keterpusatan (centralization), namun
apakah keragu-raguan ini telah dijawab pemerintah pusat dengan politik otonomi
daerah yang sekarang berjalan, entahlah?.
Dialam kemerdekaan sekarang ini, banyak hal yang mesti
harus dilakukan demi lestarinya Negara yang besar ini, kebesaran nama nasionalisme yang merupakan
satu-satunya media untuk mempertahankan pluralitas suku bangsa akan tergadai
jika suara mayoritas tetap menjadi penentu atas suara minoritas, karena harus
disadari, sampai saat ini pun kita tidak tahu apa sumbangsih pusat kepada
daerah-daerah yang lain kecuali daerahlah yang semata-mata cinta pada persatuan
nasib bangsa yang sama-sama tertindas dan sama-sama bangkit dari penjajahan
walaupun dengan ideologi yang berbeda, dan pergerakan yang berbeda pula, tidak
akan mungkin Sultan Hasanuddin berjuang kalau bukan demi tanah Makassar, tidak
akan mungkin Teuku Umar berjuang kalau bukan demi tanah Rencong dan
begitupun para pejuang pra kemerdekaan
lainnya, mereka berjuang bukan atas nama Negara Indonesia, akan tetapi generasi
merekalah yang bersepakat untuk membawa kebenekaragaman tersebut kedalam satu
bingkai kenegaraan yakni bingkai Negara kesatuan republik Indonesia, oleh
karena itu, amanah perjuangan para pahlawan terdahulu harus dijadikan cambuk
dalam meniti kenegaraan ini dimasa depan menjadi lebih baik, bukan mengkhianati
perjuangan mereka dengan menelantarkan anak cucu mereka dalam belenggu
ketidaktahuan, kemiskinan yang berkepanjangan.